Rabu, 28 Oktober 2015

Penyelenggaraan Pemerintah Yang Tidak Transparan.

Penyelenggaraan Pemerintah Yang Tidak Transparan


Informasi merupakan salah satu bagian yang sangat penting bagi kehidupanmasyarakat di dunia saat ini, terlebih jika kita tinggal dalam suatu negara demokrasi yang mengenal adanya pengakuan terhadap kebebasan dalam memperoleh informasi bagirakyatnya. Tertutupnya kebebasan dalam memperoleh informasi dapat berdampak pada banyak hal seperti rendahnya tingkat pengetahuan dan wawasan warga negara yang padaakhirnya juga berdampak pada rendahnya kualitas hidup suatu bangsa. Sementara itu darisegi penyelenggaraan pemerintahan, tidak adanya informasi yang dapat diakses oleh publik dapat berakibat pada lahirnya pemerintahan yang otoriter dan tidak demokratis.Pada dasarnya, pemerintahan di negara-negara demokrasi telah menyadari bahwaterciptanya keterbukaan dalam memperoleh informasi bagi publik dapat memberikandampak positif bagi kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan hukum di negaranya.Keterbukaan informasi dalam penyelenggaraan pemerintahan juga merupakan salah satuwujud komitmen pemerintah dalam melaksanakan prinsip-prinsip good governance dandemokratisasi pemerintahan, di mana salah satu butir di antara butir-butir goodgovernance adalah adanya keterbukaan pemerintah (transparency) kepada masyarakat.Keterbukaan akses informasi bagi publik di sisi lain juga dapat menjadi salah satualat penunjang kontrol masyarakat atas kinerja pemerintah ataupun unit-unit kerjanya.Dalam konteks bidang keamanan dan pertahanan, setiap negara demokrasi juga membukaruang-ruang tersedianya informasi yang dapat diakses masyarakat. Hal ini dimaksudkanagar hak-hak warga negara tetap terjaga dan tidak terenggut. Di samping itu, adanyaketerbukaan memperoleh informasi juga dapat menjadikan aktor pertahanan menjadilebih profesional selalu bertindak dengan berdasarkanhukum.Sebagai sebuah negara yang demokratis, Indonesia juga tentunya harus tetapmemandang bahwa kebebasan memperoleh informasi bagi publik merupakan suatu halyang pada dasarnya harus tetap dijaga. Adapun terkait beberapa hal yang sifatnya"rahasia" di mana di dalamnya terdapat hal-hal yang sensitif terutama menyangkut persoalan kedaulatan negara haruslah dapat didefinisikan dengan jelas dan tetap mengacu pada Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.Selama masa pemerintahan Orde Baru, keterbukaan untuk memperoleh informasisangat dibatasi pemerintah. Bahkan, beberapa media yang sangat kritis dan lugas dalammenyajikan informasi dengan sangat mudah dibekukan pemerintah. Dengan alasankerahasiaan, pemerintah Orde Baru banyak mengotrol berbagai informasi yang akankeluar dan diterima masyarakat sehingga sangat wajar apabila informasi yang akandisajikan media harus melewati pengawasan yang ketat. Hal ini tentunya dimaksudkanagar tidak terjadi gejolak perlawanan di dalam masyarakat.Tertutupnya pintu untuk memperoleh informasi juga sangat berdampak negative pada lemahnya jaminan kepastian hukum dan perlindungan HAM bagi masyarakat, pemerintahan pun pada akhirnya menjadi pemerintahan yang otoriter sehingga sangatwajar apabila berbagai kalangan berpendapat bahwa pada masa Orde Baru banyak sekali terjadi kasus penculikan aktivis yang sangat vokal mengkritisi kebijakan pemerintah.Dengan mengatasnamakan keamanan dan rahasia negara, pemerintah Orde Baru jugatelah menafsirkan sifat kerahasiaan negara demi kepentingan dan keberlangsungankekuasaannya sehingga mengakibatkan banyak pihak yang menjadi khawatir dengansetiap tindakan dan ucapan mereka karena selalu diintai.Sifat rahasia negara yang ditafsirkan dan diimplementasikan oleh pemerintahanOrde Baru untuk menghalang-halangi kebebasan memperoleh informasi, pada dasarnya juga menyeret aktor pertahanan dan keamanan pada posisi yang tidak profesionalsehingga ketika kita berbicara mengenai rahasia negara dan kebebasan memperolehinformasi, pada saat ini, tidak akan terlepas pula dari proses reformasi di bidang pertahanan dan keamanan.Jatuhnya tampuk kekuasaan Orde Baru telah membuka harapan bagi kehidupan  bernegara  yang  lebih  demokratis,  dan keterbukaan  pemerintah terhadap masyarakatmenjadi salah satu tuntutan dalam agenda perjuangan reformasi. Keterbukaan pemerintahkepada masyarakat merupakan suatu hal yang memang sudah selayaknya dilakukan sejak dahulu sebab Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi, sebuah negarademokrasi yang lahir dari kedaulatan rakyat sehingga kedaulatan sepenuhnya berada ditangan rakyat. Oleh karena itu, pemerintah wajib bersikap transparan kepada rakyatnya. Negara Indonesia yang ingin mensejahterakan seluruh rakyat perlumengimplementasikan formulasi pembentukan negara dalam kosepnya yang terkenalKontrak Sosial (Du Contract social ou principes du droit politique) yang dibuat padatahun 1762 oleh Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Rousseau melihat hubunganindividu dengan negara haruslah didasari pada sebuah kesepakatan untuk bernegarasesuai dengan tujuan yang dicita-citakan bersama. Kesepakatan yang penting harusdipenuhi adalah tentang hak dan kewajiban.Dalam uraiannya, Rousseau menekankan pentingnya istilah volente generale(kehendak umum) yang merupakan cikal bakal lahirmya masyarakat sipil. Sebuah negaraharuslah didasarkan pada kesepakatan umum yang jika dilanggar akan mengakibatkanketidakadilan. Konsep ketidakadilan, dengan sendirinya membubarkan kesepakatanumum dan juga kontrak sosial.Konstitusi (UUD) pada hekakatnya merupakan kontrak sosial dalam kehidupan bernegara. Pasal 28 F pada prinsipnya memberikan hak pada setiap orang untuk  berkomunikasi dan memperoleh informasi. Hak tersebut selain diatur dalam pasaltersebut, juga jauh sebelumnya sudah ditetapkan PBB melalui resolusi 59 ayat 1 Tahun1946 dan Internasional Cevenant on Civil and Political Rights 1966 Deklarasi UniversalHak Asasi Manusia PBB pasal 19 yang menegaskan bahwa hak atas informasi merupakanhak asasi dan hak konstitusional sehingga wajib dilindungi oleh negara. Dunia sekarang sudah memasuki Era Informasi, dimana informasi adalahkekuasaan ("from brown to brain").
Telah terjadi suatu Powershift, kata Alvin Toffler. Erainformasi ini sejalan dengan demokratisasi, pengurangan dominasi pemerintah, pemajuan  civil liberties, civil society, hak asasi manusia, pemberdayaan publik dan ihwal lain yangserupa. Sejak Reformasi 1988 Indonesia mulai menuju kesitu.Hak atas informasi tersebut meliputi : (1). Hak publik untuk memantau ataumengamati perilaku pejabat publik dalam menjalankan fungsi publiknya (right toobserve); (2). Hak publik untuk mendapatkan/mengakses informasi (public access toinformation); (3). Hak publik untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan kebijakan(right to participate); (4). Kebebasan berekspresi yang salah satunya diwujudkankebebasan pers (free and responsible pers); (5). Hak publik untuk mengajukan keberatanapabila hak-hak di atas diabaikan (right to appeal) baik melalui administrasi maupun adjudikasi (menggunakan sarana pengadilan semu, arbitrasi maupun pengadilan. Selain itu keterbukaan informasi memberi peluang rakyat untuk berpartisipasidalam berbagai kebijakan publik. Rakyat yang well - informed 
akan menjadi kekuatandan actor dalam proses penentuan dan pengawasan kebijakan publik. Hak itu didasarkan pada pemikiran dan Pengalaman empirik bahwa : (1) Publik yang lebih banyak mendapatinformasi dapat berpartisipasi lebih baik dalam proses demokrasi; (2) Parlemen, pers dan publik harus dapat dengan wajar mengikuti dan meneliti tindakan- tindakan pemerintah;kerahasiaan adalah hambatan terbesar pada pertanggung jawaban pemerintah; (3)Pegawai pemerintahan mengambil keputusan-keputusan penting yang berdampak padakepentingan publik; dan agar bertanggung jawab pemerintah harus menyediakaninformasi yang lengkap mengenai apa yang dikerjakan; (4) Arus informasi yang lebih baik menghasilkan pemerintahan yang efektif dan membantu pengembangan yang lebihfleksibel; (5) Kerjasama antara publik dan pemerintah akan semakin erat karenainformasi yang semakin banyak tersedia.Informasi dapat digambarkan sebagai oksigen dalam suatu negara demokrasi. Negara Demokrasi terkait dengan pertanggungjawaban dan tata pemerintahan yang baik.Rakyat diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan negara, oleh karenaitu pemberian hak kepada rakyat atas informasi merupakan tiang penyangga yang penting bagi demokrasi.
Kepentingan umum, misi organisasi publik 
Untuk menilai kinerja organisasi ini tentu saja diperlukan indikator-indikator ataukriteria-kriteria untuk mengukurnya secara jelas. Tanpa indikator dan kriteria yang jelastidak akan ada arah yang dapat digunakan untuk menentukan mana yang relatif lebihefektif diantara : alternatif alokasi sumber daya yang berbeda; alternatif desain-desainorganisasi yang berbeda; dan diantara pilihan-pilihan pendistribusian tugas danwewenang yang berbeda (Bryson, 2002). Sekarang permasalahannya adalah kriteria apayang digunakan untuk menilai organisasi.Sebagai sebuah pedoman, dalam menilai kinerja organisasi harus dikembalikan pada tujuan atau alasan dibentuknya suatu organisasi. Misalnya, untuk sebuah organisasi privat/swasta yang bertujuan untuk menghasilkan keuntungan dan barang yangdihasilkan, maka ukuran kinerjanya adalah seberapa besar organisasi tersebut mampu memproduksi barang untuk menghasilkan keuntungan bagi organisasi. Indikator yangmasih bertalian dengan sebelumnya adalah seberapa besar efficiency pemanfaatan input untuk meraih keuntungan itu dan seberapa besar effectivity process yang dilakukan untuk meraih keuntungan tersebut.Sementara itu ada indikator yang sering kali digunakan untuk mengukur kinerjaorganisasi privat/publik seperti :
work lood/demain, economy, efficiency, effectivenessdan equity (Sclim dan Wood ward, 1992 dalam Keban, 1995)  productivity (Perry, 1990dalam Dwiyanto, 1995).Dalam organisasi publik, sulit untuk ditemukan alat ukur kinerja yang sesuai (Fynn,1986, Jackson dan Palmer, 1992 dalam Bryson, 2002). Bila dikaji dari tujuan dan misiutama kehadiran organisasi publik adalah untuk memenuhi kebutuhan dan melindungikepentingan publik, kelihatannya sederhana sekali ukuran kinerja  organisasi publik, namun  tidaklah  demikian kenyataannya, karena hingga kini belum ditemukankesepakatan tentang ukuran kinerja organisasi publik.Berkaitan dengan kesulitan yang terjadi dalam pengukuran kinerja organisasi publik ini dikemukakan oleh Dwiyanto (1995: 1), “kesulitan dalam pengukuran kinerjaorganisasi pelayanan publik sebagian muncul karena tujuan dan misi organisasi publik seringkali bukan hanya kabur akan tetapi juga bersifat multidimensional. Organisasi publik memiliki stakeholders yang jauh lebih banyak dan kompleks ketimbang organisasiswasta.  Stakeholders dari organisasi publik seringkali memiliki kepentingan yang berbenturan satu dengan yang lainnya, akibatnya ukuran kinerja organisasi publik dimata para stakeholders juga menjadi berbeda-beda”. Namun ada beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik (Dwiyanto, 1995) yaitu sebagai berikut:
a. Produktivitas
Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi jugaefektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasioantara input dengan output.
b. Kualitas Layanan
Kepuasan masyarakat bisa menjadi parameter untuk menilai kinerja organisasi publik.
c. Responsivitas
Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhanmasyarakat menyusun agenda dan prioritas pelayanan dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasimasyarakat.
d. Responsibilitas
Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itudilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuaidengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit (Lenvine,1990).
e. Akuntabilitas
Akuntabilitas publik menunjukan pada seberapa besar kebijakan dan kegiatanorganisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat,asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat,dengan sendirinya akan selalu merepresentasikan kepentingan rakyat.

Kumorotomo (1995) menggunakan beberapa kriteria untuk dijadikan pedomandalam menilai kinerja organisasi pelayanan publik, antar lain adalah berikut ini:
a. Efisiensi
Efisiensi menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi pelayanan publik mendapatkan laba, memanfaatkan fakltor-faktor produksi serta pertimbangan yang berasal dari rasionalitas ekonomis.
b. Efektivitas
Apakah tujuan dari didirikannya organisasi pelayanan publik tersebut tercapai?Hal tersebut erat kaitannya organisasi rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuanorganisasi serta fungsi agen pembangunan.
c. Keadilan
Keadilan mempertanyakan distribusi dan alokasi layanan yang diselenggarakanoleh organisasi pelayanan publik.
d. Daya Tanggap
Berlainan dengan bisnis yang dilaksanakan oleh perusahaan swasta, organisasi pelayanan publik merupakan bagian dari daya tanggap negara atau pemerintahakan kebutuhan vital masyarakat. Oleh sebab itu, kriteria organisasi tersebutsecara keseluruhan harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan demimemenuhi kriteria daya tanggap iniKinerja birokrasi sebenarnya dapat dilihat melalui berbagai dimensi seperti dimensiakuntabilitas, efisiensi, efektivitas, responsivitas maupun responsibilitas. Berbagailiteratur yang membahas kinerja birokrasi pada dasarnya memiliki kesamaan substansialyakni untuk melihat seberapa jauh tingkat pencapaian hasil yang telah dilakukan oleh birokrasi pelayanan. Kinerja itu merupakan suatu konsep yang disusun dari berbagaiindikator yang sangat bervariasi sesuai dengan fokus dan konteks penggunaannya.
Pelayanan publik pada masyarakat
Khan (1981) memberi pengertian reformasi sebagai suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dankeberadaan atau kebiasaan yang telah lama. Sedangkan Quah (1976) mendefinisikanreformasi sebagai suatu proses untuk mengubah proses prosedur birokrasi publik dansikap serta tingkah laku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional. Dari pengertian ini, maka reformasi ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengkaitkan perubahan pada tingkatstruktur dan sikap serta tingkah laku (the ethics being). Hal ini, berarti menyangkut permasalahan yang bersinggungan dengan authority atau  formal power  (kekuasaan).

Negara dalam upaya mencapai tujuannya, pastilah memerlukan perangkat negarayang disebut pemerintah dan pemerintahannya. Dalam hal ini, pemerintah padahakekatnya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu, birokrasitidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi melayani masyarakat sertamenciptakan kondisi setiap anggota masyarakat untuk dapat mengembangkankemampuan dan kreativitasnya. Sejalan dengan pesatnya perkembangan zaman dansemakin kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh negara, maka telah terjadi pula perkembangan penyelenggaraan pemerintahan yang ditandai dengan adanya pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan dari
rule government 
menjadi paradigma
 good  governance
. Karena itu, tugas utama dalam rangka penguatan eksistensi pemerintahantermasuk pemerintah daerah adalah menciptakan pemerintahan yang secara politik 
acceptable
, secara hukum efektif, dan secara administratif dapat efisien. Misi aparat birokrasi adalah memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat, denganmeningkatkan kualitas sumber daya manusia, sehingga bisa memberikan kesejahteraandan rasa keadilan pada masyarakat banyak.Pelayanan yang mengacu terkait dengan prinsip-prinsip
 good governance
,sebagaimana tuntutan reformasi yaitu untuk mewujudkan
clean government 
dalam penyelenggaraan negara yang didukung prinsip-prinsip dasar kepastian hukum,akuntabilitas, transparansi, keadilan,
 profesionalisme
, dan demokratis seperti yangdikumandangkan oleh World Bank, UNDP, United Nation, dan beberapa lembagainternasional lainnya. Akan tetapi, dari beberapa sumber menunjukkan masih ada aparat birokrasi yang mengabaikan pekerjaan melayani, yang sebenarnya menjadi tanggung jawabnya. Hal itu, terlihat dari birokrasi sedang berada dan bekerja pada lingkungan yang hierarkis, birokratis, monopolis, dan terikat oleh political authority(Utomo, 2002).
Keadaan ini yang membuat birokrasi menjadi membudaya yang rigid/kaku, ada dilingkungan yang hanya sebatas following the instruction
atau mengikuti instruksi. Jugadikarenakan ada di dalam tightening control  atau mengencangkan kendali, maka birokrasimenjadi tidak memiliki inisiatif dan kreativitas. Hal ini menjadi isu umum budaya birokrasi yang menginginkan balas jasa (Thoha, 2003). Budaya dan mental birokrattersebut kontradiktif dengan pelayanan yang terkait untuk mewujudkan prinsip-prinsip good and clean government, dan kurang menempatkan masyarakat sebagai orang yangdilayani, dan justru sebaliknya. Selanjutnya birokrasi sangat sarat dengan banyak tugasdan fungsi, karena tidak saja terfokus kepada pelayanan publik, tetapi juga bertugas dan berfungsi sebagai motor pembangunan dan aktivitas pemberdayaan ( public service,development and empowering ). Akibatnya menjadikan birokrasi sebagai lembaga yangtambun sehingga mengurangi kelincahannya.
 Reformasi Birokrasi.
Bureaucratism berdasarkan laporan World Competition Report Indonesiamenduduki ranking 31 dari 48 negara. Dalam laporan tersebut Indonesiatermasuk tinggi tingkat korupsinya. Selanjutnya, ada juga mengenai pelayananaparatur birorkasi untuk negara berkembang, di dalamnya termasuk Indonesia. Faktor  buruknya pelayanan aparat birokrasi disebabkan oleh: 1) Gaji rendah (56%), 2) Sikapmental aparat pemerintah (46%), 3) Kondisi ekonomi buruk pada umumnya (32%), 4)Administrasi lemah dan kurangnya pengawasan (48%), dan 5) lain-lain (13%)
Persentase lebih dari 100% disebabkan ada respons ganda dari responden (Smith).Dengan demikian, maka diperlukan adanya reformasi birokrasi di Indonesia. Katareformasi sampai saat ini masih menjadi idola atau primadona yangdidambakan perwujudannya oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dalam rangkadevelopment, yang diarahkan pada terwujudnya efisiensi, efektivitas, dan cleangovernment. Kita semua tidak menutup mata, bahwa situasi telah berubah, duniasudah mengglobal, sistem dan nilai pun berubah dan juga berkembang. Eraglobalisasi menyentak kita melakukan penyesuaian dan pemikiran yang strategis.Aktivitas reformasi sebagai padanan lain dari change, improvement, ataumodernization. Arah yang akan dicapai reformasi adalah, efficiency, effectiveness,dan responsiveness concern in their administrative system. Khan (1981) memberi pengertian reformasi sebagai suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem birorkasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan ataukebiasaan yang telah lama. Sedangkan Quah (1976) mendefinisikan reformasi sebagaisuatu proses untuk mengubah proses prosedur birokrasi publik dan sikap serta tingkahlaku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional.Dari pengertian ini, maka reformasi ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dansikap serta tingkah laku (the ethics being). Hal ini, berarti menyangkut permasalahanyang bersinggungan dengan authority atau formal power (kekuasaan). Oleh akrenaitu, 1) perlu pemikiran pembenahan dan pengembalian fungsi dan misi birokrasikepada konsep, makna, prinsip yang sebenarnya. 2) Birokrasi sebagai komponen pemerintah harus dikembalikan lagi untuk hanya terfokus kepada fungsi, tugas prinsip pelayanan publik (public service). Dengan demikian, birokrasi akan menjadilebih lincah dan jelas kinerja atau performance-nya. Tidak saja kinerja organisasi ataulembaganya tetapi juga memudahkan untuk membuat performance indicators darimasing-masing aparat atau birokrat. 3) Untuk itu, perlu adanya kebijakan presidenmelalui  political will  melakukan reformasi di bidang birokrasi, dengan melepaskan birokrasi dari fungsi dan tugas dan misi sesungguhnya tidak termasuk dalamkewenangannya. 4) tetapi juga untuk melepaskan birokrasi sebagai alat politik (netralitas), serta membebaskan birokrasi untuk bersinergi dan berinteraksi dengancustomer's oriented yang pada hakikatnya adalah kepentingan pelayanan untuk masyarakat.
Menurut  Rajiv Prabakhar  (2006), saat ini pelayanan publik mendapat tantanganyang sangat berarti, terutama akibat dari globalisasi. Debat yang muncul dalam perdebatan itu melingkupi relasi negara dengan pasar, negara dengan warga, dan wargadengan pasar. Kalau pada masa sebelumnya, negara begitu dominan sebagai pihak yan berwenang untuk memberikan pelayanan publik maka saat ini para penentangnyamenganggap peran negara sudah tidak sesuai dengan logika dan nilai dari globalisasi Adapun tantangan pelayanan publik meliputi 4 isu penting, yaitu :
a. Negara atau Pasar ?
Debat tentang siapa yang harus lebih berperan dalam menyelenggarakan pelayanan publik terjadi antara pendekatan yang berpusat pada negara ( state-centred approach),dengan pendekatan yang berpusat pada pasar (market-centred approach). Kaumkanan baru (the New Right ) menyatakan bahwa negara tak akan mampu melakukan pelayanan publik yang optimal di era globalisasi. Hanya kompetisi di dalam pasar yang akan menentukan pelaksanaan pelayanan publik ( Rajiv Pabhakar, 2006 ).Sebaliknya, kelompok yang berpihak pada negara menganggap mekanisme pasar gagal untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada seluruh masyarakat karenalogikanya hanya menguntungkan pemenang dari kompetisi di dalam pasar, sedangkan pihak yang kalah atau lebih lemah bukanlah persoalan bagi kaum pro-pasar.
b.Keutamaan (virtue) atau Kontrak ?
Dalam tradisi masyarakat liberal, pelayanan publik terikat oleh kontrak antara pihak  penyedia ( providers) dengan pengguna (users). Adanya banyak penyediamemungkinkan mereka harus memberikan yang terbaik, dan kontrak adalah jaminan buat mengikat para pengguna.Ada hal yang positif dari kontrak antara penyedia dan pengguna, tetapi menurutAndrew Dobson, kontrak juga mengandung unsur ancaman dan hukuman apabila persetujuan itu dilanggar ( Rajiv Prabhakar, 2006 : 33). Dalam hal ini, pengguna biasanya dalam posisi yang lebih lemah. Bagi Dobson, kontrak lebih cocok di bidang bisnis dan tidak sesuai dengan konsep kewargaan (citizenship). Bagi Dobson, pelayanan publik harus berdasar pada unsur keutamaan (virtue). Dalamvirtue, unsur kepedulian (care) dan belas kasih (compassion) akan menjamin kualitas dari pelayanan publik dari pada ancaman atau hukuman.
c. Warga atau Konsumen ?
Bagi kaum pro-pasar dan pro-kontrak, pengguna pelayanan publik harus diperlakukansebagai konsumen. Konsumen ini punya hak yang telah diatur dalam sebuah kontrak dengan pihak produsen. Konsumen juga harus menanggung konsekuensi apabila tidak mematuhi kontrak yang sudah disepakati. Unsur transaksi sangat kental dalam pandangan ini. Tingkat kepuasaan, untung-rugi, hukuman-hadiah adalah nilai-nilaiyang mendasari pandangan ini.Sebaliknya pihak yang pro-negara dan pro-keutamaan melihat pengguna sebagaiwarga yang punya hak mendapat pelayanan publik yang terbaik dari penyedia.Sebagai warga, pelayanan mereka tidak boleh dikurangi atau dihilangkan haknyakarena tidak menguntungkan secara ekonomis.

d. Public good atau Private good 
Menurut David A. MacDonald dan Greg Ruiters (Daniel Chaves (ed), 2006 ), dalamlogika pasar, segala sesuatu dapat dibeli dan dijual di pasar, termasuk kebutuhanmasyarakat. Setiap barang adalah “ private good ” yang bercirikan rivalry (setiap  barang  diperebutkan  oleh banyak  orang sehingga  setiap orang  adalah rival bagilainnya) dan excludable (akses seseorang bisa ditolak apabila mereka tidak memenuhikontrak).Logika pasar yang menempatkan semua barang sebagai  private good  ditolak oleh MacDonald dan Ruiters. Bagi mereka, setiap barang harus tetap dianggapsebagai public good , karena berkaitan dengan kepentingan banyak orang. Berbedadengan  private good, public good  bercirikan non-rivalry dan non-excludable.
Perdebatan di atas bisa kita gunakan untuk menganalisa pelayanan publik di Indonesia.Penulis mengambil dua contoh untuk menggambarkan dinamika pelayananan publik diIndonesia. Contoh pertama adalah pelayanan air minum buat warga. Pasal 33 UUD1945 menganggap  air adalah hajat hidup orang banyak, sehingga negara yang punyawewenang dan tanggung jawab dalam menyelenggarakan pelayanan air minum kepadasemua warga. Pasal ini mencerminkan keberpihakan pada peran negara, warga,keutamaan dan  public good . Ironisnya, UU No. 7 tahun 2004 memandang air sebagai  private good (Syamsul Hadi, dkk, 2007:130).Contoh kedua adalah pelayanan publik oleh PT Pelni. Secara operasional, PT Pelni selalumerugi dalam melayani pelayaran di seluruh kawasan Indonesia. Menurut kaum yang pro-pasar, pelayanan semacam ini harus segera dihilangkan karena tidak ekonomis.Kenyataannya, PT Pelni sampai sekarang masih tetap melayani pelayaran, dan negaratidak melakukan privatisasi atas PT Pelni. Kebijakan ini berpihak pada peran negara,warga, keutamaan, berpihak pada warga dan pelayaran dianggap sebagai public good .Tetapi kalau kita lihat dalam operasionalnya, sejumlah hak yang harusnya dimiliki olehsetiap penumpang misalnya soal kasur mulai dihilangkan. Beberapa tahun lalu, kasur adalah hak setiap penumpang. Tetapi dalam beberapa waktu terakhir ini, setiap penumpang tidak mendapat kasur lagi. Kalau ingin mendapatkannya, penumpang harusmembayar sejumlah uang. Penjualan kasur ini menunjukkan adanya pergeseran dari public good  menjadi  private good .
Menuju Etika Pelayanan publik yang pro-warga
Globalisasi tidak bisa ditolak begitu saja pada saat sekarang. Menutup pintuterhadap globalisasi juga bukan pilihan. Globalisasi memungkinkan pihak lain yang berada di luar negara juga bisa memberikan pelayanan publik. Kenyataan ini tidak sertamerta membuat kita menyerahkan begitu saja pelayanan publik kepada mekanisme pasar. Negara tidak bisa menyerahkan semua tanggung jawab pelayanan publik kepada pihak lain, misalnya pihak swasta. Kembali ke kasus pelayanan air, kita tahu selama ini telah ada sejumlah perusahaan swasta menjalankan bisnis pelayanan air. Tetapi ketika negara(Pemda DKI) melakukan privatisasi terhadap PT PAM, maka yang terjadi adalah Pemdamelepaskan seluruh tanggung jawab pelayanan air kepada mekanisme pasar. Air tidak lagi menjadi  public good tetapi seluruhnya  private good . Kebijakan yang berbeda kitalihat dari pelayaran oleh PT Pelni. Meski merugi, negara tidak memprivatisasinya.Pertanyaan yang bisa diajukan adalah bagaimana dengan nasib warga ketika negara mulaimenggunakan perhitungan untung-rugi dalam melakukan pelayanan publik?.Pertanyaan etis itu penting karena menggugat dan melampaui perhitungan ekonomis dari pandangan yang pro kepada mekanisme pasar. Pertanyaan etis itu mewakili pertanyaanyang lebih besar tentang bagaimana nasib pelayanan publik di Indonesia saat ini dan dimasa depan.UUD 1945 (khususnya pasal 33) sesungguhnya mencerminkan suatu pandangan etis yang berpihak pada kepentingan warga, dan pengakuan yang besar terhadap peran dantanggung jawab negara. Para penyusun konstitusi sangat sadar bahwa keutamaan harusmenjadi landasan agar kepentingan banyak orang bisa terpenuhi.Saat ini, logika dan nilai dari mekanisme pasar telah menggerogoti “yang baik” dari kita.Kontrak telah menggantikan keutamaan, public good 
terancam hilang, dan warga berubahmenjadi konsumen. Kenyataan semacam itu akan menempatkan seluruh warga selaludalam keadaan yang rentan karena haknya sewaktu-waktu akan dicabut sebab tak memenuhi kontrak yang ditetapkan oleh mekanisme pasar.Pelayanan publik yang tengah terancam serbuan logika dan nilai dari mekanisme pasar sudah saatnya kita cegah dengan mewujudkan dan memperjuangkan etika pelayanan publik yang berpihak pada kepentingan banyak orang, bukan kepada segelintir orangyang punya uang berlimpah-limpah, dan bukan kepada pihak yang hanya sekedar menempatkan perhitungan untung-rugi atau memandang kebutuhan masyarakat hanyasebagai private good .
Dengan pandangan dan sikap etis itu, maka kebijakan negara untuk tetapmempertahankan sejumlah pelayanan publik (meski rugi seperti PT Pelni) patutdidukung. Bukan semata karena kita tidak peduli dengan perhitungan untung-rugi, tetapilebih karena kita ingin bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan yang menjadihak setiap warga.

Dampak Penyelenggaraan Pemerintah Yang TidakTransparan.
Suatu pemerintahan atau kepemerintahan dikatakan Transparan (terbuka), apabila dalam penyelenggaraan kepemerintahannya terdapat kebebasan aliran informasi dalam berbagai proses kelembagaan sehingga mudah diakses oleh mereka yang membutuhkan. Berbagaiinformasi telah disediakan secara memadai dan mudah dimengerti, sehingga dapatdigunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi. Kepemerintahan yang tidak transparan,cepat atau lambat cendrung akan menuju kepemerintahan yang korup, otoriter, ataudiktatur.Dalam penyelenggaraan Negara, pemerintah dituntut bersikap terbuka terhadapkebijakan-kebijakan yang dibuatnya termasuk anggara yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Sehingga mulai dari perencanaan, pelaksanaan hinggaevaluasi terhadap kebijakan tersebut pemerintah dituntut bersikap terbuka dalam rangka”akuntabilitas public”.Realitasnya kadang kebijakan yang dibuat pemerintah dalam hal pelaksanaannya kurang bersikap ransparan, sehingga berdampak pada rendahnya kepercayaan masyarakatterhadap setiap kebijakan yang dibuat pemerintah. Sebagai contoh, setiap kenaikan hargaBBM selalu di ikuti oleh demonstrasi “penolakan” kenaikan tersebut. Pada hal pemerintah berasumsi kenaikan BBM dapat mensubsidi sector lain untuk rakyat kecil“miskin”, seperti pemberian fasilitas kesehatan yang memadai, peningkatan sector  pendidikan, dan pengadaan beras miskin (raskin). Akan tetapi karena kebijakan tersebut pengelolaannya tidka transparan bahkan sering menimbulkan kebocoran (korupsi), rakyattidak mempercayai kebijakan serupa dikemudain hari.Dampak yang paling besasr terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan adalah korupsi. Istilah “korupsi” dapat dinyatakan sebagai suatu perbuatantidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam praktiknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannnyadengan jabatan tanpa ada catatan admnistratif.Menurut MTI (Masyarakat Transparansi Internasional), “korupsi merupakan perilaku pejabat, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legalmemperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya denganmenyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.”Korupsi tumbuh subur terutama pada negara-negara yang menerapkan sistem politik yangcenderung tertutup, seperti absolut, diktatur, totaliter, dam otoriter. Hal ini sejalan dengan pandangan Lord Acton, bahwa “the power tends to corrupt…” (kekuasaan cenderunguntuk menyimpang) dan “… absolute power corrupts absolutely” (semakin lamaseseorang berkuasa, penyimpangan yang dilakukannya akan semakin menjadi-jadi).Di Indonesia, rezim pemerintahan yang paling korup adalah masa Orde Baru.Berdasarkan laporan Wold Economic Forum dalam “the global competitivennennssnreport 1999”, kondisi Indonesia termasuk yang terburuk diantara 59 negara yang diteliti.Bahkan pada tahun 2002, menurut laporan “political and risk consultancy (PERC) atau  
Lembaga Konsultasi Politik dan Risiko yang berkedudukan di Hongkong, Indonesia” berhasil mengukir prestasim sebagai negara yang paling korup di Asia.Tampaknya tdak salah lagi bahwa rezim Orde Baru yang berkuasa kurang lebih selama32 (tiga puluh dua) tahun telah membawa Indonesia kejurang kehancuran krisis ekonomiyang berkepanjangan. Ini semua merupakan akumulasi dari pemerintahan yang dikelolahdengan tidak transparan, sehingga masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) telahmeracuni semua aspek kehidupan dan mencangkup hampir semua institusi formalmaupun nonformal. Mafia peradilan dan praktik politik uang merupakan contoh darisegudang bentuk praktik KKN.
1) Sebab-sebab korupsi
Mengenai sebab-sebab terjadinya korupsi, hingga sekarang ini para ahli belum dapatmemberikan kepastian apa dan bagaimana korupsi itu terjadi. Tindakan korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan ada variabel lain yang ikut berperan.Penyebabnya dapat karena faktor internal si pelaku itu sendiri, maupun dari situasilingkungan yang “memungkinkan” bagi seseorang untuk untuk melakukannya. 
2) Ciri-ciri korupsi
Penyalahgunaan wewenang dengan jalan korupsi, tampaknya tidak hanya didominasioleh oknum aparat pemerintahan, akan tetapi institusi lain juga melakukan hal samadengan ciri-ciri sebagai berikut :• Melibatkan lebih dari satu orang• Pelaku tidak terbatas pada oknum pegawai pemerintahan, tetapi juga pegawai swasta• Sering digunakan bahasa “sumir” untuk menerima uang sogok, yaitu: uang kopi, uangrokok, uang semir, uang pelancar, salam tempel, uang pelancar baik dalam bentuk uangtunai, benda tertentu atau wanita• Umumnya bersifat rahasia, kecuali jika sudah membudaya• Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang selalu tidak berupauang• Mengandung unsur penipuan yang biasanya ada pada bahan publik atau masyarakatumum.
3) Akibat tindak korupsi
Siapapun pelakunya, sekecil apapun perbuatan tindak korupsi akan mendatangkankerugian pada pihak lain. Beberapa akibat yang ditimbulkan dari tindakan korupsi yang pada umumnya tampak di permukaan adalah sebagai berikut :• Mendelegetimasi proses demokrasi dengan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politi melalui politik uang• Mendistorsi pengambilan keputusan pada kebijakan publik, membuat tiadanyaakuntabilitas publik dan manafikan the rule of law. Hukum dan birokrasi hanya melayanikekuasaan dan pemilik modal• Meniadaklan sistem promosi (riward and punishment), karena lebihy dominanhubungan patronklien dan nepotisme• Proyek-proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga mangganggu pembangunan yang berkelanjutan• Jatuh atau rusaknya tatanan ekonomi karena produk yang dijual tidak kompetitif danterjadi penumnpukan beban utang luar negeri• Semua urusan dapat diatur sehingga tatanan/ aturan dapat dibeli dengan sejumlah uangsesuai kesepakatan• Lahirnya kelompok-kelompok pertemanan atau “koncoisme” yang lebih didasarkankepada kepentingan pragmatisme uang.
Upaya pencegahan terhadap penyelenggaraan pemerintah yang tidak transparan
Upaya menghindari penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan sehinggamelahirkan “budaya” korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dapat dilakukan, anatara lainmelalui jalur-jalur sebagai berikut:
1) Formal pemerintah/ kekuasaan :
(1) pemerintah dan pejabat publik perlu pengawasan melekat (waskat) dari aparat berwenang, DPR, dan masyarakat luas sehingga yang terbukti bersalah diberikan sanksiyang tegas tanpa diskriminasi
(2) mengefektifkan peran dan fingsi aparat penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, para hakim, serta komisi pemberantas korupsi
(3) pembekalan secara intensif dan sistematis terhadap aparatur pemerintah dan pejabat publik dalam hal nilai-nilai agama dan sosial budaya
(4) menegakkan supermasi hukum dan perundang-undangan secara konsisten dan bertanggung jawab serta menjamin dan menghormati hak asasi manusia
(5) mengatur peralihan kekuasaan secara tertib, damai dan demokrastis sesuai denganhukum dan perundang-undangan
(6) menata kehidupan politik agar distribusi kekuasaan dalam berbagai tingakat struktur  politik dan hubungan kekuasaan dapat berlangsung dengan seimbang
(7) meningkatkan integritas, profesionalisme, dan tanggung jawab dalam penyenggaraannegara serta memberdayakan masyarakat untuk melakukan kontrol sosial secarakonstruktif dan efektif
 2) Organisasi non-pemnerintah dan media massa :
(1) keterlibatab lemnbaga swadaya masyarakat (LSM) atau NGO (non-GovernmentOrganization) dalam mengawasi setiap kebijakan publik yang dibuat pemerintahanseperti ICW, MTI, GOWA dan sebagainya
(2) adanya kontrol sosial untuk perbaikan komunikasi yang berimbang antara pemerintahdan rakyat melalui berbagai media massa elektronik maupun cetak  
3) Pendidikan dan Masyarakat :
(1) memperkenalkan sejak dini melalui pembelajaran di sekolah tentang pentingnya pemerintah yang transparan melalui mata pelajaran Kewarganegaraan
(2) menjadikan pancasila sebagai dasar negara yang mampu membuka wacana dan dialoginteraktif di dalam masyarakat sehingga dapat menjawab tantangan yang dihadapi sesuidengan visi Indonesia masa depan
(3) meningkatkan kekurangan sosial anatara pemeluk agama, suku, dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya melalui dialog dan kerja sama dengan prinsipkebersamaan, kesetaraan, toleransi, dan saling menghormati
(4) memberdayakan masyarakat melalui perbaikan sistem politik yang demokratissehingga dapat melahirkan pemimpin yang berkualitas, bertanggung jawab, menjadi panutan masyarakat, dan mampu mempersatukan bangsa dan negara.